Matahari bersinar cerah siang menjelang sore itu, menemani
dengan hangat melewati pertengahan Ramadhan. Di gang yang tidak seberapa lebar
itu –paling hanya muat dua motor bersisian- penghuninya sedang sibuk dengan
aktivitas mereka masing-masing; tidur siang, mengobrol ringan, menonton tv,
atau memepersiapkan hidangan berbuka sore nanti.
Di sebuah rumah mungil dengan 5 orang penghuni, kelima
penghuninya juga sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Sang ayah memilih
menghabiskan waktu siang dengan mengutak-atik motor kesayangannya di beranda
rumah. Sang ibu, sibuk berlalu-lalang di dalam rumah, dapur-beranda, memasak
makanan sambil menjemur pakaian. Si sulung perempuan yang berumur 10 tahun,
asyik tertidur di atas kasurnya, lelap dalam dunia mimpi yang entah seperti
apa. Si perempuan nomer dua sedang bermain bersama teman-temannya, memainkan
apa saja, kelereng, bola, lompat karet, apa saja. Sementara si bungsu lelaki,
yang paling ganteng di rumah ini dengan usia yang baru berbilang dua tahun,
ikut-ikut menghabiskan waktu di beranda. Mulut kecilnya sesekali bertanya
ini-itu pada sang ayah, dengan didominasi kata ‘apa’.
Siang mejelang sore itu, penghuni gang yang tidak seberapa
lebar itu masih menikmati aktivitas masing-masing. Matahari yang bersinar tidak
terlalu terik tidak bisa menghalangi tampak indah biru langit. Ditambah angin
semilir yang berhembus melewati jendela-jendela yang terbuka, siang menjelang
sore itu menjadi begitu nyaman untuk bersantai atau bermalas-malasan.
Kembali ke rumah mungil tadi, si sulung masih terlelap
sambil memeluk guling yang panjangnya hanya kalah sedikit dari tinggi badannya.
Sang ibu telah menyelesaikan pakaian yang harus dijemurnya, menjadikan
pergerakannya kini hanya berbatas dapur. Sementara sang ayah entah masih
melakukan apa pada motornya, ditemani segala macam kunci dan perkakas bengkel.
Matahari semakin condong ke barat. Meski belum memasuki
waktu Ashar, suasana di gang yang tidak seberapa lebar itu sudah semakin sejuk. Sang ayah semakin terlarut dengan motornya. Si sulung belum
memberikan tanda-tanda akan mengakhiri tidurnya. Si nomer dua semakin asyik
bermain dengan teman-temannya di tepi gang. Sang ibu, entah pasal apa
meninggalkan dapurnya menuju beranda rumah untuk menengok pakaian-pakaian yang
sedang dijemur. Setelah membetulkan satu-dua posisi gantungan baju dan kain
yang dijemur, sang ibu merasa ada yang kurang dari beranda rumah mereka.
Aduhai, mana si ganteng kecil miliknya? Kenapa tak tampak batang hidungnya?
Tentu saja, yang pertama ia lakukan adalah bertanya pada suaminya.
Rupanya sang ayah sudah terlalu larut bermain dengan
motornya. Sang ayah lengah dan tidak lagi memerhatikan ke mana gantengnya
melangkah. Maka ia pun bertanya pada si nomer dua, yang sedang bermain di tepi
gang tak jauh dari rumah, barangkali ia melihat ke mana adik gantengnya atau
malah mungkin ikut bermain bersamanya. Tapi jawabannya adalah tidak.
Matahari semakin condong ke barat, rasa-rasanya hampir pukul
tiga. Tapi tidak, belum sesore itu. Sang ayah mulai bertanya pada
tetangga-tetangga di kanan-kiri rumahnya. Kepanikan mulai tersulut di sepanjang
gang buntu yang hanya 300 meteran itu. Sang ibu mulai menangis karena ganteng
kecilnya ternyata tak ditemukan di sepanjang gang. Sekejap, gang yang lebarnya
tak seberapa itu menjadi ramai. Orang-orang menghentikan aktivitasnya, mencari
tahu apa yang terjadi, kemudian ikut membantu mencari. Si nomer dua pun
menghentikan permainannya, ikut tersedu bersama sang ibu yang sudah begitu
paniknya.
Berita hilangnya ganteng kecil ayah sudah menyebar ke luar
gang dengan cepat dari mulut ke mulut. Tetangga yang mencari tahu dan membantu
mencari pun semakin banyak. Sang ayah, dibantu tetangga-tetangga, mencari
keluar gang yang lebarnya tidak seberapa itu, menuju gang lain yang lebih lebar
hingga tiba di jalan besar. Namun, setelah habis ditelusuri hingga ke jalan
tempat mobil berlalu-lalang, si ganteng kecil ternyata tidak ditemukan. Dengan
langkah gontai, sang ayah kembali ke rumah mungil dan memberi tahu istrinya.
Beberapa tetangga masih meneruskan mencari, dan bertanya-tanya pada warga
sekitar.
Matahari semakin condong ke barat. Pukul tiga sore, meski
adzan Ashar belum berkumandang. Saat itulah, entah siapa yang melontarkan,
muncul isu bahwa si ganteng ayah dan ibu telah diculik seseorang. Bagaimanalah,
situasi bertambah buruk saja. Sang ibu tak hentinya menangis, makin payah
mendengar kemungkinan gantengnya yang baru dua tahun diculik seseorang. Si
nomer dua juga telah pecah tangisnya, entah mengerti atau tidak, bocah delapan
tahun itu memeluk sang ibu. Atas usulan dari seorang tetangga, sang ayah
bermaksud untuk melapor ke polisi terdekat.
Ditemani beberapa orang tetangga, sang ayah akan berangkat
ke kantor polisi saat tiba-tiba datang seseorang sambil berlari-lari.
Alhamdulillah, orang itu membawa kabar baik rupanya. Ganteng ayah dan ibu sudah
ditemukan, ia ada di rumah kerabat. Maka tanpa menunggu satu detik, sang ayah
langsung bergegas menuju rumah kerabat tersebut.
Rumah kerabat itu terletak tidak terlalu jauh dari rumah
mungil ayah dan ibu. Sang ayah memang tidak mencari gantengnya samapi ke sana
karena tak terpikir bahwa ganteng dua tahun itu bisa sampai ke sana.
Bagaimanalah, jalan yang dilalui untuk menuju rumah kerabat belum berupa jalan
beton, melainkan masih berupa tanah merah yang becek saat hujan. Terlebih
terdapat satu dua tanjakan dan selokan kecil. Rumah kerabat juga merupakan
sebuah rumah yang mungil, lebih tradisional dari rumah mungil ayah dan ibu. Di
depan rumah kerabat masih terhampar lapangan yang luas, cukup untuk anak-anak
bermain dan berbagi tempat bersama para ayam dan bebek yang juga suka
berlarian.
Matahari semakin condong ke berat. Sudah lewat dari pukul
tiga. Sesampainya di rumah kerabat yang lebih ramai dari biasanya akibat berita
hilangnya ganteng kecil ayah dan ibu, sang ayah menemukan gantengnya tengah
duduk beristirahat di beranda rumah kerabat. Si kerabat menjelaskan, ganteng
kecil ayah kelelahan habis bermain, mengejar bebek ke sana ke mari. Owalah, si
ganteng yang menyulut kepanikan di sepanjang gang rupanya habis bermain bersama
bebek. Lihat wajahnya, wajah seorang bocah dua tahun yang begitu riang meski
kelelahan, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mana pula ia mengerti kalau
orang-orang dari tadi sibuk mencarinya.
Seketika itu, hilang rasa panik sang ayah yang sudah
menggunung. Sang ayah menggendong ganteng kecilnya, mengajaknya pulang ke rumah
mungil, bertemu sang ibu yang jauh lebih banyak menyimpan gunungan panik.
Ketika itu pula si ganteng dua tahun berceloteh riang pada ayahnya, “bebek
banyaaak, aku kejar-kejar tadi! Nanti aku tangkep lagi ya?” yang hanya dibalas
dengan tawa oleh sang ayah.
Ketika itu pula si ganteng dua tahun berceloteh riang pada ayahnya, “bebek banyaaak, aku kejar-kejar tadi! Nanti aku tangkep lagi ya?” yang hanya dibalas dengan tawa oleh sang ayah.
Sesampainya sang ayah di rumah mungil, sang ibu langsung
memeluk si ganteng kecil sambil mulutnya tak henti mengucap syukur. Matanya
masih berlinang air mata yang belum habis-habis. Si ganteng kecil yang dipeluk
seperti itu hanya bisa menatap terheran-heran, lantas bertanya pada sang ibu
tetap dengan wajahnya yang menggemaskan. Sang ibu hanya menjawab dengan
gelengan.
Matahari semakin condong ke barat. Adzan Ashar akhirnya
berkumandang. Satu per satu tetangga yang berkerumun di rumah mungil ayah dan
ibu mengundurkan diri. Sejuk kembali terasa di sepanjang gang yang luasnya tak
seberapa itu, dibawa oleh angin. Satu dua terdengar seruan lega, lega bahwa si
ganteng kecil ayah dan ibu tidak benar-benar diculik.
Semua penghuni gang kembali menyibukkan diri dengan
aktivitas masing-masing; menunaikan sholat Ashar, mandi, hingga persiapan
berbuka puasa. Termasuk sang ibu yang kembali melanjutkan masakannya yang
terabaikan sebentar di dapur. Sang ayah nampaknya tidak berselera lagi
mengutak-atik motornya, jadi ia hanya menyelesaikan pekerjaannya, lantas membereskan
perkakas. Si nomer dua urung melanjutkan permainannya yang terhenti, lebih
memilih bercanda-canda di dalam rumah dengan adik gantengnya yang habis
‘menghilang’ itu.
Sepertinya ada yang tertinggal dalam potongan cerita ini
bukan? Lihat, si sulung akhirnya terbangun dari tidur siang nyenyaknya. Ia
mengerjapkan mata, menggeliat, lalu menguap panjang, berusaha mengusir sisa
kantuknya. Ia lantas menuruni ranjang tempatnya tertidur dan keluar dari kamar.
Melihat dua adiknya sedang bercanda-canda di lantai yang terbuat dari keramik
putih, ia pun turut serta. Sampai sang ayah menyuruh mereka sholat Ashar,
barulah candaan mereka terhenti. Si sulung tidak mengetahui sama sekali
kepanikan besar apa yang baru saja hadir di rumah mungil ayah dan ibu.
Matahari semakin condong ke barat. Sedikit lagi hingga waktu
yang dinantikan untuk berbuka puasa tiba. Warna langit sudah semakin tembaga.
Lingkaran emas besar yang bersiap tenggelam di cakrawala tidak bisa terlihat
dari gang yang lebarnya tidak seberapa itu. Hingga adzan Maghrib berkumandang,
si sulung tetap tidak tahu bahwa adik gantengnya sempat ‘menghilang’ tadi
siang. Dalam kepanikan, tak ada penghuni rumah mungil yang ingat bahwa dirinya
masih lelap tertidur di kamar dan membangunkannya. Hingga dua hari kemudian, saat
seorang tetannga bertanya padanya bagaimana adik gantengnya ditemukan, barulah
ia tahu bahwa adiknya pernah ‘menghilang’. Dan itulah aku, si sulung yang
tertidur sangat nyenyak sehinga tidak tahu apa-apa sampai cerita tentang adik
gantengnya yang menghilang diceritakan kepadanya.. (-___-)
Jakarta, 24 Agustus 2013
Diceritakan kembali dari kisah nyata, dengan beberapa
penyesuaian