Sabtu, 24 Agustus 2013

Ketika si Ganteng Hilang

Matahari bersinar cerah siang menjelang sore itu, menemani dengan hangat melewati pertengahan Ramadhan. Di gang yang tidak seberapa lebar itu –paling hanya muat dua motor bersisian- penghuninya sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing; tidur siang, mengobrol ringan, menonton tv, atau memepersiapkan hidangan berbuka sore nanti.

Di sebuah rumah mungil dengan 5 orang penghuni, kelima penghuninya juga sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Sang ayah memilih menghabiskan waktu siang dengan mengutak-atik motor kesayangannya di beranda rumah. Sang ibu, sibuk berlalu-lalang di dalam rumah, dapur-beranda, memasak makanan sambil menjemur pakaian. Si sulung perempuan yang berumur 10 tahun, asyik tertidur di atas kasurnya, lelap dalam dunia mimpi yang entah seperti apa. Si perempuan nomer dua sedang bermain bersama teman-temannya, memainkan apa saja, kelereng, bola, lompat karet, apa saja. Sementara si bungsu lelaki, yang paling ganteng di rumah ini dengan usia yang baru berbilang dua tahun, ikut-ikut menghabiskan waktu di beranda. Mulut kecilnya sesekali bertanya ini-itu pada sang ayah, dengan didominasi kata ‘apa’.

Siang mejelang sore itu, penghuni gang yang tidak seberapa lebar itu masih menikmati aktivitas masing-masing. Matahari yang bersinar tidak terlalu terik tidak bisa menghalangi tampak indah biru langit. Ditambah angin semilir yang berhembus melewati jendela-jendela yang terbuka, siang menjelang sore itu menjadi begitu nyaman untuk bersantai atau bermalas-malasan.

Kembali ke rumah mungil tadi, si sulung masih terlelap sambil memeluk guling yang panjangnya hanya kalah sedikit dari tinggi badannya. Sang ibu telah menyelesaikan pakaian yang harus dijemurnya, menjadikan pergerakannya kini hanya berbatas dapur. Sementara sang ayah entah masih melakukan apa pada motornya, ditemani segala macam kunci dan perkakas bengkel.

Matahari semakin condong ke barat. Meski belum memasuki waktu Ashar, suasana di gang yang tidak seberapa lebar itu sudah semakin sejuk. Sang ayah semakin terlarut dengan motornya. Si sulung belum memberikan tanda-tanda akan mengakhiri tidurnya. Si nomer dua semakin asyik bermain dengan teman-temannya di tepi gang. Sang ibu, entah pasal apa meninggalkan dapurnya menuju beranda rumah untuk menengok pakaian-pakaian yang sedang dijemur. Setelah membetulkan satu-dua posisi gantungan baju dan kain yang dijemur, sang ibu merasa ada yang kurang dari beranda rumah mereka. Aduhai, mana si ganteng kecil miliknya? Kenapa tak tampak batang hidungnya? Tentu saja, yang pertama ia lakukan adalah bertanya pada suaminya.

Rupanya sang ayah sudah terlalu larut bermain dengan motornya. Sang ayah lengah dan tidak lagi memerhatikan ke mana gantengnya melangkah. Maka ia pun bertanya pada si nomer dua, yang sedang bermain di tepi gang tak jauh dari rumah, barangkali ia melihat ke mana adik gantengnya atau malah mungkin ikut bermain bersamanya. Tapi jawabannya adalah tidak.

Matahari semakin condong ke barat, rasa-rasanya hampir pukul tiga. Tapi tidak, belum sesore itu. Sang ayah mulai bertanya pada tetangga-tetangga di kanan-kiri rumahnya. Kepanikan mulai tersulut di sepanjang gang buntu yang hanya 300 meteran itu. Sang ibu mulai menangis karena ganteng kecilnya ternyata tak ditemukan di sepanjang gang. Sekejap, gang yang lebarnya tak seberapa itu menjadi ramai. Orang-orang menghentikan aktivitasnya, mencari tahu apa yang terjadi, kemudian ikut membantu mencari. Si nomer dua pun menghentikan permainannya, ikut tersedu bersama sang ibu yang sudah begitu paniknya.

Berita hilangnya ganteng kecil ayah sudah menyebar ke luar gang dengan cepat dari mulut ke mulut. Tetangga yang mencari tahu dan membantu mencari pun semakin banyak. Sang ayah, dibantu tetangga-tetangga, mencari keluar gang yang lebarnya tidak seberapa itu, menuju gang lain yang lebih lebar hingga tiba di jalan besar. Namun, setelah habis ditelusuri hingga ke jalan tempat mobil berlalu-lalang, si ganteng kecil ternyata tidak ditemukan. Dengan langkah gontai, sang ayah kembali ke rumah mungil dan memberi tahu istrinya. Beberapa tetangga masih meneruskan mencari, dan bertanya-tanya pada warga sekitar.

Matahari semakin condong ke barat. Pukul tiga sore, meski adzan Ashar belum berkumandang. Saat itulah, entah siapa yang melontarkan, muncul isu bahwa si ganteng ayah dan ibu telah diculik seseorang. Bagaimanalah, situasi bertambah buruk saja. Sang ibu tak hentinya menangis, makin payah mendengar kemungkinan gantengnya yang baru dua tahun diculik seseorang. Si nomer dua juga telah pecah tangisnya, entah mengerti atau tidak, bocah delapan tahun itu memeluk sang ibu. Atas usulan dari seorang tetangga, sang ayah bermaksud untuk melapor ke polisi terdekat.

Ditemani beberapa orang tetangga, sang ayah akan berangkat ke kantor polisi saat tiba-tiba datang seseorang sambil berlari-lari. Alhamdulillah, orang itu membawa kabar baik rupanya. Ganteng ayah dan ibu sudah ditemukan, ia ada di rumah kerabat. Maka tanpa menunggu satu detik, sang ayah langsung bergegas menuju rumah kerabat tersebut.

Rumah kerabat itu terletak tidak terlalu jauh dari rumah mungil ayah dan ibu. Sang ayah memang tidak mencari gantengnya samapi ke sana karena tak terpikir bahwa ganteng dua tahun itu bisa sampai ke sana. Bagaimanalah, jalan yang dilalui untuk menuju rumah kerabat belum berupa jalan beton, melainkan masih berupa tanah merah yang becek saat hujan. Terlebih terdapat satu dua tanjakan dan selokan kecil. Rumah kerabat juga merupakan sebuah rumah yang mungil, lebih tradisional dari rumah mungil ayah dan ibu. Di depan rumah kerabat masih terhampar lapangan yang luas, cukup untuk anak-anak bermain dan berbagi tempat bersama para ayam dan bebek yang juga suka berlarian.

Matahari semakin condong ke berat. Sudah lewat dari pukul tiga. Sesampainya di rumah kerabat yang lebih ramai dari biasanya akibat berita hilangnya ganteng kecil ayah dan ibu, sang ayah menemukan gantengnya tengah duduk beristirahat di beranda rumah kerabat. Si kerabat menjelaskan, ganteng kecil ayah kelelahan habis bermain, mengejar bebek ke sana ke mari. Owalah, si ganteng yang menyulut kepanikan di sepanjang gang rupanya habis bermain bersama bebek. Lihat wajahnya, wajah seorang bocah dua tahun yang begitu riang meski kelelahan, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mana pula ia mengerti kalau orang-orang dari tadi sibuk mencarinya.

Seketika itu, hilang rasa panik sang ayah yang sudah menggunung. Sang ayah menggendong ganteng kecilnya, mengajaknya pulang ke rumah mungil, bertemu sang ibu yang jauh lebih banyak menyimpan gunungan panik. Ketika itu pula si ganteng dua tahun berceloteh riang pada ayahnya, “bebek banyaaak, aku kejar-kejar tadi! Nanti aku tangkep lagi ya?” yang hanya dibalas dengan tawa oleh sang ayah.

Ketika itu pula si ganteng dua tahun berceloteh riang pada ayahnya, “bebek banyaaak, aku kejar-kejar tadi! Nanti aku tangkep lagi ya?” yang hanya dibalas dengan tawa oleh sang ayah.

Sesampainya sang ayah di rumah mungil, sang ibu langsung memeluk si ganteng kecil sambil mulutnya tak henti mengucap syukur. Matanya masih berlinang air mata yang belum habis-habis. Si ganteng kecil yang dipeluk seperti itu hanya bisa menatap terheran-heran, lantas bertanya pada sang ibu tetap dengan wajahnya yang menggemaskan. Sang ibu hanya menjawab dengan gelengan.

Matahari semakin condong ke barat. Adzan Ashar akhirnya berkumandang. Satu per satu tetangga yang berkerumun di rumah mungil ayah dan ibu mengundurkan diri. Sejuk kembali terasa di sepanjang gang yang luasnya tak seberapa itu, dibawa oleh angin. Satu dua terdengar seruan lega, lega bahwa si ganteng kecil ayah dan ibu tidak benar-benar diculik.

Semua penghuni gang kembali menyibukkan diri dengan aktivitas masing-masing; menunaikan sholat Ashar, mandi, hingga persiapan berbuka puasa. Termasuk sang ibu yang kembali melanjutkan masakannya yang terabaikan sebentar di dapur. Sang ayah nampaknya tidak berselera lagi mengutak-atik motornya, jadi ia hanya menyelesaikan pekerjaannya, lantas membereskan perkakas. Si nomer dua urung melanjutkan permainannya yang terhenti, lebih memilih bercanda-canda di dalam rumah dengan adik gantengnya yang habis ‘menghilang’ itu.

Sepertinya ada yang tertinggal dalam potongan cerita ini bukan? Lihat, si sulung akhirnya terbangun dari tidur siang nyenyaknya. Ia mengerjapkan mata, menggeliat, lalu menguap panjang, berusaha mengusir sisa kantuknya. Ia lantas menuruni ranjang tempatnya tertidur dan keluar dari kamar. Melihat dua adiknya sedang bercanda-canda di lantai yang terbuat dari keramik putih, ia pun turut serta. Sampai sang ayah menyuruh mereka sholat Ashar, barulah candaan mereka terhenti. Si sulung tidak mengetahui sama sekali kepanikan besar apa yang baru saja hadir di rumah mungil ayah dan ibu.

Matahari semakin condong ke barat. Sedikit lagi hingga waktu yang dinantikan untuk berbuka puasa tiba. Warna langit sudah semakin tembaga. Lingkaran emas besar yang bersiap tenggelam di cakrawala tidak bisa terlihat dari gang yang lebarnya tidak seberapa itu. Hingga adzan Maghrib berkumandang, si sulung tetap tidak tahu bahwa adik gantengnya sempat ‘menghilang’ tadi siang. Dalam kepanikan, tak ada penghuni rumah mungil yang ingat bahwa dirinya masih lelap tertidur di kamar dan membangunkannya. Hingga dua hari kemudian, saat seorang tetannga bertanya padanya bagaimana adik gantengnya ditemukan, barulah ia tahu bahwa adiknya pernah ‘menghilang’. Dan itulah aku, si sulung yang tertidur sangat nyenyak sehinga tidak tahu apa-apa sampai cerita tentang adik gantengnya yang menghilang diceritakan kepadanya.. (-___-)

Jakarta, 24 Agustus 2013
Diceritakan kembali dari kisah nyata, dengan beberapa penyesuaian 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar